TEMPO.CO, Jakarta - Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun regulasi terkait dengan rencana pembentukan market maker di pasar modal. Pembahasan serius dijajaki otoritas sejak akhir tahun lalu, sebagai upaya meningkatkan kredibilitas pasar serta mengantisipasi praktik goreng menggoreng saham yang dapat merugikan investor.
Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI, Laksono Widodo menuturkan saat ini lembaganya masih menunggu payung hukum atau dasar peraturan yang akan diterbitkan oleh OJK.“Semua aturan bursa harus melalui OJK terlebih dahulu,” ujarnya kepada Tempo, Jumat 17 Januari 2020. Setelah itu, otoritas bursa akan menerbitkan turunan peraturan yang memuat ketentuan dan mekanisme market maker secara lebih detil.
Adapun market maker merupakan pihak ketiga yang ditunjuk otoritas bursa untuk mengolah saham-saham kelas menengah yang berfundamental baik, namun kurang likuid di pasar atau memiliki nilai kapitalisasi yang kecil. Mereka yang berperan sebagai market maker adalah anggota bursa seperti perusahaan efek atau perusahaan sekuritas.
“Tapi tidak semua saham, kami yang menentukan kriterianya nanti, jumlahnya ada 20-40 saham yang dianggap kurang likuid,” kata Laksono, Daftar saham itu akan dipublikasikan oleh BEI untuk kemudian ditawarkan kepada market maker. Sebagai penggerak harga, anggota bursa yang menjadi market maker harus bersedia untuk selalu menyediakan kuotasi bid and offer suatu saham dalam jumlah yang memadai. Sebagai insentif, BEI akan membebaskan biaya transaksi bagi anggota bursa yang menjadi market maker.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal OJK, Hoesen berujar saat ini lembaganya masih mencari formulasi yang tepat untuk penerapan mekanisme market maker. Dalam penyusunannya, otoritas akan merujuk pada implementasi di National Association of Securities Dealers Automated Quotation (NASDAQ) Amerika Serikat dan Singapore Exchange Limited di Singapura. Otoritas menargetkan regulasi market maker rampung pada semester kedua 2020.
“Aktivitas market maker akan dipantau OJK dan SRO (self regulatory organization) pasar modal,” ucap Hoesen. SRO yang dimaksud adalah BEI bersama Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dan Kliring Penjaminan Efek Indonesia (KPEI). Keberadaan market maker yang teregistrasi ini secara tidak langsung akan mempersempit celah broker yang selama ini melakukan transaksi semu guna menaikkan harga saham. “Sehingga publik punya trust terhadap pasar, investor merasa aman.”